Minggu, 23 November 2014

Sejarah Kabupaten Luwu



Sejarah Luwu
Kabupaten Luwu yang ada saat ini sejak awal adalah bagian integral dari "Kerajaan Luwu" yang semula berkedudukan di Ussu Malili (sekarang masuk wilayah Luwu Timur) sebagai pusat pengendalian pemerintahan yang dipimpin Pajung Luwu Pertama.
Dalam dinamika perkembangan sejarah Kedatuan Luwu, Ware' (watampare) atau ibukota sebagai pusat pengendalian pemerintahan Kedatuan Luwu telah berpindah tempat beberapa kali antara lain; Pertama, mencapai wilayah Kab. Kolaka Utara. Kedua, Cilallang-Kamanre Kec. Kamanre. Ketiga, Pattimang Kec. Malangke dan keempat atau terakhir ke Palopo.
Pada saat ibukota Pemerintahan Kedatuan Luwu berkedudukan di Kamanre, Datu menempatkan petugas kedatuan (Pabbate-bate Rilaleng Pare) di Bajo, dengan gelar Sanggaria Bajo, yang bertugas mengawasi dan mengontrol keamanan lalu lintas perdagangan di Belopa dan Lamunre melalui pelabuhan Ulo-ulo.
Oleh karena tuntutan kebutuhan pemerintahan Kedatuan Luwu, maka abad ke-16 sebelum masehi diadakan reorganisasi sistem Pemerintahan Kedatuan Luwu yang membentuk tiga wilayah besar yang dipimpin oleh Anak Tellue yaitu :
Wilayah Makole Baebunta dipimpin oleh Opu Makole Baebunta meliputi Kab. Luwu Utara, Kab. Luwu Timur sampai Kab. Morowali Poso Sulawesi Tengah.
Wilayah Ma'dika Bua dipimpin oleh Opu Ma'dika Bua meliputi Kec. Bua, Bastem, Kab. Tana Toraja, Kab. Kolaka, Kab. Kolaka Utara, dan Walenrang-Lamasi.
Wilayah Ma'dika Ponrang dipimpin oleh Opu Ma'dika Ponrang meliputi Kec. Ponrang, Bupon, Latimojong, Kamanre, Bajo, Belopa, Suli, Suli Barat, Larompong/Larompong Selatan.
Dalam fase ini Belopa berada pada wilayah Kemaddikaan Ponrang. Dalam suatu momentum penting lainnya, wilayah Belopa tepatnya di kampung Senga dibentuk salah satu "Lili Passiajingeng" atau wilayah kekerabatan dalam Kedatuan Luwu, sehingga mulai saat itu Belopa berada dalam wilayah "Lili Passiajingeng" Opu Arung Senga atau wilayah yang langsung berada di bawah koordinasi Datu Luwu karena berada diluar koordinasi dari salah satu Anak Tellue (sejenis daerah khusus istimewa di pemerintahan sekarang). Perkembangan tersebut diatas tidak di ketahui secara pasti keadaannya, sampai masuknya Islam dan penjajah Hindia Belanda di Wilayah Kerajaan Luwu.
Masa Kerajaan Hindia Belanda
Pada tahun 1905, pemerintah Hindia Belanda berhasil menduduki pusat Kedatuan Luwu di Palopo setelah terlebih dahulu melalui serentetan pertempuran. Berselang beberapa waktu kemudian, di Bajo ditempatkan seorang pejabat Hindia Belanda yang disebut "Tuan Petoro Kecil" dengan wilayah kekuasaan yang disebut "distrik" dari wilayah kekuasaan Kedatuan Luwu bagian selatan, yang sebelumnya secara de facto menjadi wilayah Opu Sanggaria Bajo, dimana didalamnya terdapat Belopa dan Pelabuhan Ulo-ulo beserta daerah-daerah lainnya di Wilayah Kedatuan Luwu bagian selatan. Oleh karena kepentingan penjajah Pemerintah Hindia Belanda, maka Belopa tetap diberi posisi penting, baik karena letak geografis, maupun karena didukung oleh Pelabuhan Ulo-ulo, yang dapat memperlancar perdagangan rakyat antara pulau. Begitu pentingnya Belopa dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, sehingga Tuan Petoro Kecil yang berkedudukan di Bajo, sangat mendukung, Belopa sebagai daerah agraris dan sentra perdagangan hasil bumi di bagian selatan. tetapi, pada sisi lainnya ruang gerak masyarakat itu di batasi kebebasannya. dan inilah yang menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan nasionalisme dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk "Srikandi Luwu dari Belopa" yaitu "Opu dg. Risadju".
Masa Pendudukan Jepang
Pada tahun 1942 jepang berhasil menghalau pemerintah Hindia Belanda, namun sistem pemerintahannya hampir sama dengan sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi rakyat agak lebih lega, karena diberi kebebasan berusaha, bercocok tanam dan nelayan.
Keadaan tersebut diatas memberi suasana baru bagi masyarakat yang mendiami Bajo-Belopa dan sekitarnya, sehingga hasil-hasil bumi masyarakat Belopa dan sekitarnya yang dikenal dengan nama Tana Manai lebih meningkat, kondisi seperti inilah yang memberi motivasi sehingga Belopa dan sekitarnya, diberi julukan "Pabbarasanna Tana Luwu". (lumbung pangan Tana Luwu).
Masa Kemerdekaan Dan Pergolakan DI/TII
Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 29 Desember 1949, Kab. Luwu pada umumnya dan Tana Manai pada khususnya dilanda gangguan keamanan dengan pergolakan DI/TII.
Pada masa tersebut meskipun Belopa berada dalam wilayah Distrik Bajo dari onder afdeling Palopo, tetapi secara de facto kegiatan pemerintahan dan upaya pemulihan keamanan tetap berpusat di Belopa, sampai berakhirnya pergolakan DI/TII sekitar tahun 1962.
Masa Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Dengan berlakunya Undang-undang Darurat No. 3 tahun 1957 tentang penghapusan Sistim Pemerintahan Swapraja dan terpisahnya Tana Toraja dari Kab. Luwu, maka praktis sistem pemerintahan Swapraja disertai berakhirnya pula pemerintahan sistem Kerajaan Luwu. Datu Luwu Andi Djemma langsung menjadi Bupati/Datu Luwu kala itu, dengan berlakunya UU.No.29 tahun 1959 tentang Terbentuknya Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, sistem Pemerintahan Swatantra dihapus. Pada waktu itu Wilayah Kab. Dati II Luwu dibentuk 16 kecamatan dan salah satu diantaranya adalah Kecamatan Bajo dengan ibukotanya Belopa, sesuai Keputusan Gubernur Kepala Daerah TK. I Sulawesi Selatan Tenggara Nomor : 2067a tahun 1961 tanggal 19 Desember 1961. Oleh karena Belopa mengalami perkembangan pesat di berbagai bidang, maka Belopa ditingkatkan statusnya menjadi Kecamatan pada tahun 1983, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1983. pada Perkembangan berikutnya di bentuk Pembantu Bupati Wilayah III yang berkedudukan di Belopa pada tahun 1993.
Sebagai konsekwensi logis lahirnya UU. no. 22 tahun 1999 sebagai pertanda pelaksanaan otonomi Daerah, mekarlah Kab. Luwu Utara dengan ibu kota Masamba berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1999. Bahkan sesudah itu Kota Palopo sebagai Ibukota Kab. Luwu ditingkatkan statusnya menjadi kota otonom, dengan lahirnya UU. no 11 tahun 2002. pada waktu itu, Kota Palopo berfungsi sebagai ibu kota ganda, disamping sebagi ibu kota induk ( Kab. Luwu ) juga sebagai ibu kota otonom Palopo hasil pemekaran.
SEJARAH KOTA PALOPO
Kota Palopo, dahulu disebut Kota Administratif (Kotip) Palopo, merupakan Ibu Kota Kabupaten Luwu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor Tahun 42 Tahun 1986. Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi Kota Administratif di Seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.
Ide peningkatan status Kotip Palopo menjadi daerah otonom , bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotip Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti Surat Bupati Luwu No. 135/09/TAPEM Tanggal 9 Januari 2001, Tentang Usul Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Kabupaten Luwu No. 55 Tahun 2000 Tanggal 7 September 2000, tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi; Surat Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan No. 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 Tentang Usul Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan No. 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 Tentang Persetujuan Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Hasil Seminar Kota Administratip Palopo Menjadi Kota Palopo; Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Oraganisasi Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita dan Organisasi Profesi; Pula dibarengi oleh Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo, lalu kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota. Akhirnya setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah dan letak geografis Kotip Palopo yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten sekitar, meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja dan Kabupaten Wajo serta didukung sebagai pusat pengembangan pendidikan di kawasan utara Sulawesi Selatan, dengan kelengkapan sarana pendidikan yang tinggi, sarana telekomunikasi dan sarana transportasi pelabuhan laut, Kotip Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo .
Tanggal 2 Juli 2002, merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan Kota Palopo, dengan ditanda tanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom Kota Palopo oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Selatan, yang akhirnya menjadi sebuah Daerah Otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu. Diawal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4 Wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.
Kota Palopo dinakhodai pertama kali oleh Bapak Drs. H. P. A. Tenriadjeng, Msi, yang diberi amanah sebagai penjabat Walikota (Caretaker) kala itu, mengawali pembangunan Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun, hingga kemudian dipilih sebagai Walikota defenitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palopo untuk memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya selaku Walikota pertama di Kota Palopo.
Luwu Jejak Sejarah Nusantara yang Terlupakan
Berbicara mengenai Sulawesi Selatan khususnya, maka sulit untuk tidak mengenang kerajaan Luwu dan tokoh-tokohnya. Sebab dari sinilah, lahir propinsi Sulawesi Selatan kelak. Bahkan termasuk beberapa daerah yang kini tidak berada dalam wilayah Sulawesi Selatan (Luwu), di zaman dahulu termasuk wilayah Sulawesi Selatan (Luwu).
Demikianlah kenyataan sejarah yang melansir bahwa cikal bakal Sulawesi Selatan dan perdaban manusia bermula dari mitologi masyarakat tentang La Tongeq Langiq atau yang lebih dikenal dengan nama Batara Guru yang diturunkan ke Dunia Tengah tepatnya di Wotu Kabupaten Luwu Timur. Benar atau tidak, hal ini telah terintegrasikan dalam konsepsi masyarakat pendukungnya. Termasuk tata cara pemerintahan hadat wotu yang sudah menyerupakan sebuah negara (Kingdom).
Kerajaan Luwu dikenal sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, bahkan di Indonesia Timur. Tokoh Batara Guru sendiri yang dikenal sebagai manusia pertama dalam wilayah kesadaran manusia Bugis diinformasikan melalui Sureq Galigo. Ia dturunkan dari Boting langiq untuk menyemarakkan Ale Kawaq (bumi) yang masih kosong.
Mitologi Galigo di kalangan masyarakat Bugis sampai saat ini masih dianggap sebagai sebuah kebenaran - meski terus menerus mengalami reduksi-bahkan sesuatu yang sakral. Karena kesakralannya ini, ia dijadikan sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur'an. Mereka meyakini bahwa di dalamnya ada sebuah kekuatan yang tersimpan.
Begitu fantastis dan agungnya sejarah kebudayaan Luwu di masa lalu, telah memberikan justifikasi kemajuan peradaban masyarakat Luwu yang telah melampaui batas-batas nalar kita. Menjadi soal kemudian adalah, sejauh mana pengetahuan masyarakat Sulawesi Selatan dan Luwu khususnya tentang sejarah mereka sendiri?
Jika merujuk pada sejarah, Luwu dapat dikatakan sebagai sebuah kerajaan tertua, khususnya Sulawesi Selatan. Dan sebagai kerajaan tertua, tentunya Luwu banyak menyimpan berbagai catatan sejarah yang panjang. Sureq Galigo yang merupakan karya sastra terpanjang di dunia adalah salah satu bukti nyata dari perjalanan panjang sejarah Luwu dengan beberapa tokohnya yang telah membangun kerajaan Luwu, bahkan memberi warna pada beberapa kerajaan/ wilayah yang ada di nusantara.
Luwu sebagai sebuah wilayah yang otonom (kerajaan), sejak periode Galigo hingga Lontaraq, telah berperan penting dalam membangun tatanan masyarakat di beberapa wilayah. Berbagai wilayah, utamanya di Sulawesi Selatan bahkan kerap menghubungkan keturunannya atau keberadaan kerajaannya dengan Luwu.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa Luwu merupakan akar kebudayaan yang telah berintegrasi dalam wilayah kesadaran masyarakat pendukungnya. Disadari atau tidak, keagungan dan kearifan sejarah dan kebuadayaan Luwu telah menjadi kekuatan tersendiri dalam menyerap dan mentransformasikan berbagai anasir kebudayaan dari luar yang kemudian berintegrasi dalam sebuah harmonisasi kebudayaan.
Meski demikian, kekuatan tersebut dewasa ini telah mengalami reduksi struktural. Bahkan secara horisontal, sejarah terlebih kebudayaan Luwu terus mengalami alienasi dari masyarakatnya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh adanya kecenderungan terjadinya proses politisasi sejarah dan kebudayaan. Hal ini tentunya juga akan menjadikan sejarah dan kebudayaan Luwu mengalami keterasingan dari pusat kesadaran masyarakat Luwu sendiri.
Berpijak pada kondisi di ataslah, maka Komunitas Kampung Sawerigading (KAMPUS) merasakan perlunya suatu langkah yang tepat untuk mendokumentasikan kembali serpihan-serpihan sejarah tersebut. Hal ini selain bertujuan jangka pendek untuk mereuni memori masyarakat Sulawesi Selatan akan sejarahnya sendiri, yang pada gilirannya dapat dijadikan aset nasional dalam mengisi pembangunan dengan kerangka otonomi daerah untuk menjadi acuan konsep pemerintahan, juga berfungsi sebagai investasi intelektual bagi generasi selanjutnya. Karena bercermin pada sejarah, adalah salah satu hal yang mampu memicu proses kreatif.
Selain disebabkan alasan di atas, alasan lain yang tak kalah pentingnya adalah berhamburannya referensi tertulis dan non tertulis serta semakin hilangnya saksi-saksi sejarah. Olehnya, dengan segala kerendahan hati dan kerja keras yang hampir tak kenal lelah, KAMPUS telah berhasil menemukan formulasi yang betul-betul unik dalam upaya revitalisasi sejarah besar perdaban Sulawesi di masa lalu dalam bentuk sebuah ensiklopedi. Sebuah langkah fenomenal tentunya, di tengah sepinya referensi yang akan dapat bertutur lengkap dan padat akan nilai dari sebuah sejarah.
Buku yang hadir di hadapan dewan pembaca ini, disusun dalam bentuk ensiklopedi dengan tujuan memudahkan penelusuran jejak sejarah dengan sajian yang padat dan lugas tidak sekaku bentuk buku pada umumnya -tentu tanpa mengurangi penghargaan terhadap rumitnya penyusunan buku sejarah pada umumnya. Buku ini telah berusaha memenuhi pengertian dasar tentang ensiklopedi sebagai karya yang menghimpun dan menyajikan berbagai data, baik yang tertulis maupun lisan tentang sejarah Luwu yang disusun secara sistematis menurut abjad dengan memuat lebih dari 600 entri.
Meskipun demikian, buku ini tidak terlepas dari kelemahan manusia pada umumnya, dimana masih terdapat kalimat-kalimat yang tidak menggunakan tanda baca sebagaimana mestinya, yang terkadang mampu mengaburkan makna yang tersimpan di balik sebuah informasi. Hal ini mungkin perlu dimaklumi, karena dengan keterbatasan waktu (penyusunan hanya berjalan sekitar 6 bulan), sementara begitu bertumpuk data yang mesti dihimpun dan ditata kembali, menjadi tantangan tersendiri.
Ensiklopedi ini selain memuat sejarah Luwu mulai dari diturunkannya Batara Guru hingga peristiwa kecil seperti pembuatan jalan poros Makassar-Palopo, juga memuat bioadata -baik singkat maupun panjang- tokoh-tokoh Luwu (juga daerah-daerah yang masih menjadi bagian distrik Luwu dahulu) tanpa melihat apakah tokoh tersebut adalah pejuang, pengkhianat, dan selainnya. Sebab menjadi pejuang ataupun pengkhianat, atau apapun namanya, hanyalah persoalan nilai.
Sejarah yang sejati tak akan membuat demarkasi antara dua kenyataan hidup kontras, akan tetapi lebih dari itu, persoalan sejarah adalah persoalan pergulatan niali itu sendiri. Sehingga tak heran, jika satu kurun waktu tertentu misalnya, seorang Kahar Muzakkar menjadi pemberontak, tetapi di waktu yang lain, ia begitu dielu-elukan sebagai pahlawan yang berani menentang tirani yang berkedok nasionalisme. Akhirnya, kita mungkin masih ingat, seorang filsuf dunia, Epicurus pernah menyatakan bahwa Historia Magistra Vitae (Sejarah adalah Guru kehidupan) dan kepada dewan pembaca sekalianlah, buku ini mendapatkan tempat sebagai jejak langkah tertinggal namun tak terlupakan.
AWAL BUGIS - KERAJAAN LUWU
Perubahan Dari Zaman Logam
Kerajaan-kerajaan awal Bugis mengikut teks La Galigo
Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan yaitu Wewang Nriwuk, Luwu' dan Tompoktikka. Walau bagaimanapun, pada abad ke-15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan di tengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke-20.
Teknik Dan Perbedaan Ekonomi
Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai gelaran 'Panre Bessi' atau 'Tukang Besi'. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan pembuatan alat besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana 'Panre Baka' ('Tukang Besi Pertama') turun dari Surga/Langit. Walau bagaimanapun, setengah mengatakan 'Panre Baka' berasal dari Toraja. Satu lagi inovasi yang diperkenalkan ialah penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di dalam teks La Galigo, menurut sumber Portugis, pada abad ke-16, terdapat banyak penggunaan kuda di kawasan gunung. Maka, inovasi ini mungkin diperkenalkan antara abad ke-13 dan abad ke-16. Maksud kuda di dalam Bahasa Bugis , ialah 'anyarang' (Makassar: jarang), cukup berbeda dengan Bahasa Melayu, malahan ianya diambil dari Jawa ( 'jaran' ). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad ke-14, ketika Jawa diperintah oleh Majapahit.
Pertambahan penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong dan bakar digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Penanaman padi sawah terang-terangan diimport kerana penyuburan sawah (plough), di dalam Bahasa Bugis ialah 'rakalla' berasal dari perkataan 'langala' yang digunakan hampir seluruh Asia Tenggara, contohnya Cam, 'langal', Khmer, angal dan Bahasa Melayu, tengala. Teknik 'rakalla' ini digunakan di India dan sebahagian Asia Tenggara, manakala sebahagian lagi daripada Asia Tenggara diambil dari China. Ini sekaligus membuktikan wujudnya perhubungan diantara Sulawesi Selatan dengan bahagian barat Asia Tenggara selain Jawa.
Perubahan di dalam bidang ekonomi berhubungan dengan pertambahan penduduk di tengah-tengah benua. Pada mulanya, sumber ekonomi majoriti populasi Bugis ialah penanaman padi manakala golongan elit mengawal sumber-sumber asli dari hutan, perlombongan dan sumber-sumber dari laut. Sumber-sumber asli ini mendapat permintaan dari luar Sulawesi dan ini membolehkan golongan elit memperdagangkan sumber-sumber ini dan membolehkan mereka membeli barang-barang mewah dari luar seperti keramik China, Sutera India, cermin etc. Walau bagaimanapun, pengawalan pertanian oleh golongan elit masih memainkan peranan penting ketika itu.
Perubahan Sosio-Politik
Implikasi terakhir dari penyebaran etnik Bugis keseluruh Sulawesi Selatan ialah perubahan didalam politik. Kerajaan-kerajaan lama Bugis yaitu Luwu', Sidenreng, Soppeng dan Cina (kemudiannya menjadi Pammana) masih berkuasa tetapi mungkin terdapat pembaharuan didalam pertukaran dinasti. Kuasa-kuasa kecil muncul di penempatan-penempatan baru ( 'wanua' ) dan diperintah oleh seorang ketua digelar 'matoa' atau 'arung'. Sesetengah penempatan awal ini (tidak disebut didalam La Galigo) seperti Bone, Wajo dan Goa kemudiannya menjadi kerajaan-kerajaan utama.
Walau bagaimanapun, setengah kerajaan yang disebut di dalam teks La Galigo seperti Wewang Nriwu' dan Tompoktikka 'hilang' di dalam rekod sejarah, dan ini menyebabkan setengah sejarahwan percaya bahawa kerajaan-kerajaan ini tidak wujud sama sekali. Kontranya, terdapat perubahan didalam sosio-politik yang nyata di permulaan teks sejarah yaitu wujudnya satu perhubungan kontrak di antara pemerintah danpa'banua (rakyat negeri tersebut yang merupakan orang kebanyakan.) Di dalam masyarakat awal, keselamatan dan sumber pendapatan penduduk (seperti mendirikan rumah, memberi kerja dan membekalkan keperluan tertentu) merupakan tanggungjawab pemerintah. Situasi ini berbeda sekali seperti di dalam teks La Galigo di mana pemerintah tidak perlu membekalkan apa-apa kepada penduduk.
Perubahan Agama
Kesinambungan dari zaman logam diteruskan di dalam bidang keagamaan. Bissu (bomoh) kekal menjadi elemen penting di dalam hal-hal keagamaan sebelum kedatangan Islam. Perubahan di dalam bidang keagamaan ialah pembakaran mayat dan debu bagi orang-orang terpenting disimpan di dalam tempat penyimpanan debu dimana tempat pembakaran mayat disebut Patunuang. Menurut sumber Portugis, Makassar mengekalkan teknik penanaman mayat dan Toraja pula membiarkan mayat reput di gua-gua. Pemerintah-pemerintah awal pula tidak ditanam maupun dibakar dan mereka dikatakan 'hilang', bermaksud kembali ke surga. Menurut sumber, mayat-mayat pemerintah awal dibiarkan bersandar di pokok reput sehingga tinggal tulang. Mayat bayi pula ditenggelamkan di sungai ataupun laut.
Kerajaan-Kerajaan Awal Bugis
Di akhir abad ke-15, Luwu', yang dianggap sebagai ketua bagi komuniti Bugis, mendominasi kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Tasik Besar, sepanjang sungai Welennae, tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang persisiran pantai yang menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bataeng. Walau bagaimanapun, kerajaan ini mula menghadapi tentangan dari kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Situasi Politik Di Akhir Abad ke-15 Pada awal abad ke-15, Luwu' menguasai Sungai Cenrana yang menghubungi Tasik Besar. Penempatan Luwu' pula terletak di muara sungai Cenrana, manakala di hulu sungai pula terdapat beberapa kerajaan kecil. Luwu' cuba mengekalkan pengaruhnya di bahagian barat, di jalan perhubungan antara Selat Makassar dan Sungai Cenrana melalui Tasik Besar, untuk mengawal perdagangan sumber-sumber asli di sebelah barat, mineral dari pergunungan Toraja dan sumber pertanian sepanjang Sungai Welennae. Walaubagaimanapun, Sidenreng, terletak di bahagian barat Tasik Besar telah memilih untuk berlindung di bawah Soppeng. Pada masa yang sama, Sawitto', Alitta, Suppa', Bacukiki' dan Rappang, juga terletak di sebelah barat telah membentuk satu konfederasi dinamakan ' Aja'tappareng ' (tanah disebelah barat tasik) sekaligus menyebabkan Luwuk hilang pengaruh di atas kawasan ini.
Malahan, sesetengah penempatan-penempatan Bugis mula enggan berada dibawah pemerintahan Luwu'. Di hulu Sungai Cenrana pula, kerajaan Wajo' sedang membangun dan mula menyebarkan pengaruhnya untuk mengawal kawasan sekelilingnya. Manakala pemerintah-pemerintah di kawasan sekeliling Wajo' pula di gelar 'Arung Matoa' bermaksud Ketua Pemerintah. Sekitar 1490, salah seorang dari pemerintah ini membuat perjanjian dengan Wajo', dan sekaligus meletakkan Luwu' dibawah pengaruh Wajo'. Pada tahun 1498 pula, penduduk Wajo' melantik Arung Matoa Puang ri Ma'galatung, seorang pemerintah yang disegani oleh orang Bugis, dan berjaya menjadikan Wajo' sebagai salah satu kerajaan utama Bugis.
Di sebelah selatan pula, Bone, di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua, sedang meluaskan sempadannya di kawasan pertanian sekaligus membantu ekonomi Bone, menambah kuasa buruh dan kuasa tentera. Penempatan Bugis yang disebut di dalam La Galigo kini terletak di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan yang membangun. Soppeng pula terperangkap di antara Sidenreng, Wajo' dan Bone manakala penempatan di tanah tinggi cuba keluar dari pengaruh Luwu' dan pada masa yang sama ingin mengelakkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sedang membangun.
Kejatuhan Luwu
Tempo antara 1500 dan 1530 menyaksikan kerajaan Luwu' mula merosot. Ketika itu, Luwu' diperintah oleh Dewaraja, seorang pahlawan yang hebat. Didalam pertemuan diantara Dewaraja dan Arung Matoa Puang ri Ma'galatung pada tahun 1508, Dewaraja bersetuju untuk menyerahkan kawasan-kawasan di sepanjang Sungai Cenrana kepada Wajo' sebagai pertukaran Wajo' hendaklah membantu Luwu' menguasai Sidenreng dimana Sidenreng berjaya dikuasai oleh Luwuk dan Sidenrang terpaksa menyerahkan kepada Wajo' kawasan timur laut dan utara Tasik Besar.
Pada tahun 1509, Luwu' menyerang Bone untuk menyekat kuasa Bone tetapi ketika itu, Bone sudah pun menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan tentera Luwuk mengalami kekalahan. Malahan Dewaraja, walaupun berjaya melarikan diri, hampir dibunuh jika tidak kerana amaran pemerintah Bone kepada tenteranya untuk tidak 'menyentuh' ketua musuh Bone. Walaubagaimanapun, Payung Merah milik Luwu' yang menjadi simbol ketuanan tertinggi berjaya dimiliki Bone sekaligus mengakhiri ketuanan Luwu' di negeri-negeri Bugis. Walau bagaimanapun, ketuanan Luwu' masih disanjung tinggi dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Bila penggantinya Dewaraja mangkat, Wajo' menyerang Luwu' dan meluaskan pengaruhnya di daerah-daerah Luwu'. Ini membolehkan Wajo' menguasai beberapa kawasan-kawasan yang strategik.
Kemunculan Makassar
Pada masa yang sama, berlakunya peristiwa-peristiwa penting di sebelah barat dan selatan Sulawesi Selatan. Siang ketika itu masih lagi menjadi kuasa utama di persisiran barat Makassar dan Bantaeng (ketika itu dibawah penagruh Luwu') di sebelah selatan manakala terdapat dua penempatan Makassar iaitu Goa dan Tallo' yang mula membangun dan meluaskan pengaruh mereka. Mengikut sumber yang diragui kesahihannya, Goa dan Tallo' pada mulanya adalah satu negeri. Pada sekitar abad ke 15, Raja Tunatangka'lopi membahagikan kawasan itu kepada dua orang puteranya menjadi Goa dan Tallo'. Terdapat juga kisah yang lain di mana dibawah Raja Daeng Matanre' (1510-1547), suatu pejanjian telah dibuat.
Mengikut perjanjian tersebut, Goa dan Tallo' akan menjadi kerajaan kembar, di mana terdapat dua pemerintah tetapi satu kerakyatan. Siapa yang coba menentang perjanjian ini akan dihukum oleh Tuhan. Peristiwa ini mengikut Bulbeck ('History Archeology':117) berlaku selepas 1535. Peta Sulawesi yang dilukis Portugis pertama kali pada tahun 1534 tidak menyentuh tentang Goa, dan hanya memeta 'Siom"(Siang), 'Tello'(Tallo') dan 'Agacim'(Garassi'). Mengikut penulisan Antonio de Paiva, Goa, (di mana didalam penulisannya merujuk kepada Bandar Besar) yang kemudiannya muncul di peta Portugis, sebelumnya dianggap di bawah pengaruh Siang. Sebaliknya kerajaan Tallo' yang dibawah pengaruh Siang dan kemudiannya dibawah pengaruh Goa. Goa kemudiannya menguasai Garassi', sebuah pelabuhan yang menghubungkan Jawa, sekaligus membolehkan Goa mengawal perdagangan laut.
Permualaan sejarah Goa dan Tallo' berlaku di akhir abad ke 15, tetapi laporan mengenai peristiwa-peristiwa yang berlaku di kedua-dua kawasan itu masih tidak jelas. Polisi perluasan kuasa mungkin bermula ketika zaman pemerintahan Raja Daeng Matenre, Goa, dan berterusan selama dua abad selepasnya. Antara daerah-daerah yang dikuasainya ialah Bajeng, sekutu-sekutu Tallo', kawasan-kawasan di bawah pengaruh Bantaeng dan Gantarang.
Kejayaan kerajaan kembar ini, lebih dikenali dikalangan pedagang asing sebagai sebuah 'negara' digelar Makassar. Ianya boleh dikatakan satu gabungan yang bijak di mana pemerintah Goa meneruskan penguasaan wilayah manakala pemerintah Tallo', yang mendapati potensi Makassar sebagai pelabuhan yang berjaya, menumpukan bahagian perdagangan. Ini kemudian menjadikan Makassar salah satu kuasa yang kuat di Sulawesi Selatan.
Kemangkatan Dewaraja, pemerintah Luwuk, menyebabkan berlakunya perbalahan dinasti. Daeng Mantare membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan Luwuk dituntut oleh Sanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya mendapatkan perlindungan di Wajo'. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan Goa di mana Luwuk kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui kekalahannya dan akan menyertai Goa, Bone dan Soppeng menentang Wajo' atas tindakan Wajo' yang bersifat neutral ketika peperangan berlaku. Ini menyebabkan Wajo' terpaksa menukar ikrar setianya dari Luwu kepada Goa. Sanggaria kemudiannya dibenarkan menjadi raja Luwu tanpa kuasa.
Sumber Berita: www.sulselprov.go.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar