Sejarah Luwu
Kabupaten
Luwu yang ada saat ini sejak awal adalah bagian integral dari "Kerajaan
Luwu" yang semula berkedudukan di Ussu Malili (sekarang masuk wilayah Luwu
Timur) sebagai pusat pengendalian pemerintahan yang dipimpin Pajung Luwu
Pertama.
Dalam
dinamika perkembangan sejarah Kedatuan Luwu, Ware' (watampare) atau ibukota
sebagai pusat pengendalian pemerintahan Kedatuan Luwu telah berpindah tempat
beberapa kali antara lain; Pertama, mencapai wilayah Kab. Kolaka Utara. Kedua,
Cilallang-Kamanre Kec. Kamanre. Ketiga, Pattimang Kec. Malangke dan keempat
atau terakhir ke Palopo.
Pada saat
ibukota Pemerintahan Kedatuan Luwu berkedudukan di Kamanre, Datu menempatkan
petugas kedatuan (Pabbate-bate Rilaleng Pare) di Bajo, dengan gelar Sanggaria
Bajo, yang bertugas mengawasi dan mengontrol keamanan lalu lintas perdagangan
di Belopa dan Lamunre melalui pelabuhan Ulo-ulo.
Oleh karena
tuntutan kebutuhan pemerintahan Kedatuan Luwu, maka abad ke-16 sebelum masehi
diadakan reorganisasi sistem Pemerintahan Kedatuan Luwu yang membentuk tiga
wilayah besar yang dipimpin oleh Anak Tellue yaitu :
Wilayah
Makole Baebunta dipimpin oleh Opu Makole Baebunta meliputi Kab. Luwu Utara,
Kab. Luwu Timur sampai Kab. Morowali Poso Sulawesi Tengah.
Wilayah
Ma'dika Bua dipimpin oleh Opu Ma'dika Bua meliputi Kec. Bua, Bastem, Kab. Tana
Toraja, Kab. Kolaka, Kab. Kolaka Utara, dan Walenrang-Lamasi.
Wilayah
Ma'dika Ponrang dipimpin oleh Opu Ma'dika Ponrang meliputi Kec. Ponrang, Bupon,
Latimojong, Kamanre, Bajo, Belopa, Suli, Suli Barat, Larompong/Larompong
Selatan.
Dalam fase
ini Belopa berada pada wilayah Kemaddikaan Ponrang. Dalam suatu momentum
penting lainnya, wilayah Belopa tepatnya di kampung Senga dibentuk salah satu
"Lili Passiajingeng" atau wilayah kekerabatan dalam Kedatuan Luwu,
sehingga mulai saat itu Belopa berada dalam wilayah "Lili
Passiajingeng" Opu Arung Senga atau wilayah yang langsung berada di bawah
koordinasi Datu Luwu karena berada diluar koordinasi dari salah satu Anak
Tellue (sejenis daerah khusus istimewa di pemerintahan sekarang). Perkembangan
tersebut diatas tidak di ketahui secara pasti keadaannya, sampai masuknya Islam
dan penjajah Hindia Belanda di Wilayah Kerajaan Luwu.
Masa
Kerajaan Hindia Belanda
Pada tahun
1905, pemerintah Hindia Belanda berhasil menduduki pusat Kedatuan Luwu di
Palopo setelah terlebih dahulu melalui serentetan pertempuran. Berselang
beberapa waktu kemudian, di Bajo ditempatkan seorang pejabat Hindia Belanda
yang disebut "Tuan Petoro Kecil" dengan wilayah kekuasaan yang disebut
"distrik" dari wilayah kekuasaan Kedatuan Luwu bagian selatan, yang
sebelumnya secara de facto menjadi wilayah Opu Sanggaria Bajo, dimana
didalamnya terdapat Belopa dan Pelabuhan Ulo-ulo beserta daerah-daerah lainnya
di Wilayah Kedatuan Luwu bagian selatan. Oleh karena kepentingan penjajah
Pemerintah Hindia Belanda, maka Belopa tetap diberi posisi penting, baik karena
letak geografis, maupun karena didukung oleh Pelabuhan Ulo-ulo, yang dapat
memperlancar perdagangan rakyat antara pulau. Begitu pentingnya Belopa dalam
pandangan pemerintah Hindia Belanda, sehingga Tuan Petoro Kecil yang
berkedudukan di Bajo, sangat mendukung, Belopa sebagai daerah agraris dan
sentra perdagangan hasil bumi di bagian selatan. tetapi, pada sisi lainnya
ruang gerak masyarakat itu di batasi kebebasannya. dan inilah yang menjadi
salah satu pemicu munculnya gerakan nasionalisme dari seluruh lapisan
masyarakat, termasuk "Srikandi Luwu dari Belopa" yaitu "Opu dg.
Risadju".
Masa
Pendudukan Jepang
Pada tahun
1942 jepang berhasil menghalau pemerintah Hindia Belanda, namun sistem
pemerintahannya hampir sama dengan sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah Hindia Belanda, tetapi rakyat agak lebih lega, karena diberi
kebebasan berusaha, bercocok tanam dan nelayan.
Keadaan
tersebut diatas memberi suasana baru bagi masyarakat yang mendiami Bajo-Belopa
dan sekitarnya, sehingga hasil-hasil bumi masyarakat Belopa dan sekitarnya yang
dikenal dengan nama Tana Manai lebih meningkat, kondisi seperti inilah yang
memberi motivasi sehingga Belopa dan sekitarnya, diberi julukan
"Pabbarasanna Tana Luwu". (lumbung pangan Tana Luwu).
Masa
Kemerdekaan Dan Pergolakan DI/TII
Pasca
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 29 Desember 1949, Kab. Luwu
pada umumnya dan Tana Manai pada khususnya dilanda gangguan keamanan dengan
pergolakan DI/TII.
Pada masa
tersebut meskipun Belopa berada dalam wilayah Distrik Bajo dari onder afdeling
Palopo, tetapi secara de facto kegiatan pemerintahan dan upaya pemulihan
keamanan tetap berpusat di Belopa, sampai berakhirnya pergolakan DI/TII sekitar
tahun 1962.
Masa
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Dengan
berlakunya Undang-undang Darurat No. 3 tahun 1957 tentang penghapusan Sistim
Pemerintahan Swapraja dan terpisahnya Tana Toraja dari Kab. Luwu, maka praktis
sistem pemerintahan Swapraja disertai berakhirnya pula pemerintahan sistem
Kerajaan Luwu. Datu Luwu Andi Djemma langsung menjadi Bupati/Datu Luwu kala
itu, dengan berlakunya UU.No.29 tahun 1959 tentang Terbentuknya Daerah-daerah
Tingkat II di Sulawesi, sistem Pemerintahan Swatantra dihapus. Pada waktu itu
Wilayah Kab. Dati II Luwu dibentuk 16 kecamatan dan salah satu diantaranya
adalah Kecamatan Bajo dengan ibukotanya Belopa, sesuai Keputusan Gubernur
Kepala Daerah TK. I Sulawesi Selatan Tenggara Nomor : 2067a tahun 1961 tanggal
19 Desember 1961. Oleh karena Belopa mengalami perkembangan pesat di berbagai
bidang, maka Belopa ditingkatkan statusnya menjadi Kecamatan pada tahun 1983,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1983. pada Perkembangan
berikutnya di bentuk Pembantu Bupati Wilayah III yang berkedudukan di Belopa
pada tahun 1993.
Sebagai
konsekwensi logis lahirnya UU. no. 22 tahun 1999 sebagai pertanda pelaksanaan
otonomi Daerah, mekarlah Kab. Luwu Utara dengan ibu kota Masamba berdasarkan UU
Nomor 13 Tahun 1999. Bahkan sesudah itu Kota Palopo sebagai Ibukota Kab. Luwu
ditingkatkan statusnya menjadi kota otonom, dengan lahirnya UU. no 11 tahun
2002. pada waktu itu, Kota Palopo berfungsi sebagai ibu kota ganda, disamping
sebagi ibu kota induk ( Kab. Luwu ) juga sebagai ibu kota otonom Palopo hasil
pemekaran.
SEJARAH KOTA
PALOPO
Kota Palopo,
dahulu disebut Kota Administratif (Kotip) Palopo, merupakan Ibu Kota Kabupaten
Luwu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor Tahun 42 Tahun
1986. Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan
melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, telah membuka peluang
bagi Kota Administratif di Seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah
persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.
Ide
peningkatan status Kotip Palopo menjadi daerah otonom , bergulir melalui
aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang
ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotip Palopo
menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat
seperti Surat Bupati Luwu No. 135/09/TAPEM Tanggal 9 Januari 2001, Tentang Usul
Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Kabupaten
Luwu No. 55 Tahun 2000 Tanggal 7 September 2000, tentang Persetujuan
Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi; Surat Gubernur
Propinsi Sulawesi Selatan No. 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 Tentang Usul
Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi
Selatan No. 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 Tentang Persetujuan Pembentukan
Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Hasil Seminar Kota Administratip Palopo
Menjadi Kota Palopo; Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Oraganisasi
Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita dan Organisasi Profesi; Pula
dibarengi oleh Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotip Palopo
menjadi Kota Palopo, lalu kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota. Akhirnya
setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau kelengkapan administrasi
serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah dan letak geografis Kotip Palopo
yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa
perdagangan terhadap beberapa kabupaten sekitar, meliputi Kabupaten Luwu, Luwu
Utara, Tana Toraja dan Kabupaten Wajo serta didukung sebagai pusat pengembangan
pendidikan di kawasan utara Sulawesi Selatan, dengan kelengkapan sarana
pendidikan yang tinggi, sarana telekomunikasi dan sarana transportasi pelabuhan
laut, Kotip Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom Kota
Palopo .
Tanggal 2
Juli 2002, merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan Kota
Palopo, dengan ditanda tanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom Kota
Palopo oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, berdasarkan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo
dan Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Selatan, yang akhirnya menjadi sebuah
Daerah Otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah
geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu. Diawal
terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4 Wilayah
Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan
perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk
mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, maka pada tahun
2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan
dan 48 Kelurahan.
Kota Palopo
dinakhodai pertama kali oleh Bapak Drs. H. P. A. Tenriadjeng, Msi, yang diberi
amanah sebagai penjabat Walikota (Caretaker) kala itu, mengawali pembangunan
Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun, hingga kemudian dipilih sebagai
Walikota defenitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palopo untuk
memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya
selaku Walikota pertama di Kota Palopo.
Luwu Jejak
Sejarah Nusantara yang Terlupakan
Berbicara
mengenai Sulawesi Selatan khususnya, maka sulit untuk tidak mengenang kerajaan
Luwu dan tokoh-tokohnya. Sebab dari sinilah, lahir propinsi Sulawesi Selatan
kelak. Bahkan termasuk beberapa daerah yang kini tidak berada dalam wilayah
Sulawesi Selatan (Luwu), di zaman dahulu termasuk wilayah Sulawesi Selatan
(Luwu).
Demikianlah
kenyataan sejarah yang melansir bahwa cikal bakal Sulawesi Selatan dan perdaban
manusia bermula dari mitologi masyarakat tentang La Tongeq Langiq atau yang
lebih dikenal dengan nama Batara Guru yang diturunkan ke Dunia Tengah tepatnya
di Wotu Kabupaten Luwu Timur. Benar atau tidak, hal ini telah terintegrasikan
dalam konsepsi masyarakat pendukungnya. Termasuk tata cara pemerintahan hadat
wotu yang sudah menyerupakan sebuah negara (Kingdom).
Kerajaan
Luwu dikenal sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, bahkan di Indonesia
Timur. Tokoh Batara Guru sendiri yang dikenal sebagai manusia pertama dalam
wilayah kesadaran manusia Bugis diinformasikan melalui Sureq Galigo. Ia
dturunkan dari Boting langiq untuk menyemarakkan Ale Kawaq (bumi) yang masih
kosong.
Mitologi
Galigo di kalangan masyarakat Bugis sampai saat ini masih dianggap sebagai
sebuah kebenaran - meski terus menerus mengalami reduksi-bahkan sesuatu yang
sakral. Karena kesakralannya ini, ia dijadikan sebagai kitab suci kedua setelah
al-Qur'an. Mereka meyakini bahwa di dalamnya ada sebuah kekuatan yang
tersimpan.
Begitu
fantastis dan agungnya sejarah kebudayaan Luwu di masa lalu, telah memberikan
justifikasi kemajuan peradaban masyarakat Luwu yang telah melampaui batas-batas
nalar kita. Menjadi soal kemudian adalah, sejauh mana pengetahuan masyarakat
Sulawesi Selatan dan Luwu khususnya tentang sejarah mereka sendiri?
Jika merujuk
pada sejarah, Luwu dapat dikatakan sebagai sebuah kerajaan tertua, khususnya
Sulawesi Selatan. Dan sebagai kerajaan tertua, tentunya Luwu banyak menyimpan
berbagai catatan sejarah yang panjang. Sureq Galigo yang merupakan karya sastra
terpanjang di dunia adalah salah satu bukti nyata dari perjalanan panjang
sejarah Luwu dengan beberapa tokohnya yang telah membangun kerajaan Luwu,
bahkan memberi warna pada beberapa kerajaan/ wilayah yang ada di nusantara.
Luwu sebagai
sebuah wilayah yang otonom (kerajaan), sejak periode Galigo hingga Lontaraq,
telah berperan penting dalam membangun tatanan masyarakat di beberapa wilayah.
Berbagai wilayah, utamanya di Sulawesi Selatan bahkan kerap menghubungkan
keturunannya atau keberadaan kerajaannya dengan Luwu.
Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa Luwu merupakan akar kebudayaan yang telah berintegrasi
dalam wilayah kesadaran masyarakat pendukungnya. Disadari atau tidak, keagungan
dan kearifan sejarah dan kebuadayaan Luwu telah menjadi kekuatan tersendiri
dalam menyerap dan mentransformasikan berbagai anasir kebudayaan dari luar yang
kemudian berintegrasi dalam sebuah harmonisasi kebudayaan.
Meski
demikian, kekuatan tersebut dewasa ini telah mengalami reduksi struktural.
Bahkan secara horisontal, sejarah terlebih kebudayaan Luwu terus mengalami
alienasi dari masyarakatnya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh adanya
kecenderungan terjadinya proses politisasi sejarah dan kebudayaan. Hal ini
tentunya juga akan menjadikan sejarah dan kebudayaan Luwu mengalami
keterasingan dari pusat kesadaran masyarakat Luwu sendiri.
Berpijak
pada kondisi di ataslah, maka Komunitas Kampung Sawerigading (KAMPUS) merasakan
perlunya suatu langkah yang tepat untuk mendokumentasikan kembali
serpihan-serpihan sejarah tersebut. Hal ini selain bertujuan jangka pendek
untuk mereuni memori masyarakat Sulawesi Selatan akan sejarahnya sendiri, yang
pada gilirannya dapat dijadikan aset nasional dalam mengisi pembangunan dengan
kerangka otonomi daerah untuk menjadi acuan konsep pemerintahan, juga berfungsi
sebagai investasi intelektual bagi generasi selanjutnya. Karena bercermin pada
sejarah, adalah salah satu hal yang mampu memicu proses kreatif.
Selain
disebabkan alasan di atas, alasan lain yang tak kalah pentingnya adalah
berhamburannya referensi tertulis dan non tertulis serta semakin hilangnya
saksi-saksi sejarah. Olehnya, dengan segala kerendahan hati dan kerja keras
yang hampir tak kenal lelah, KAMPUS telah berhasil menemukan formulasi yang
betul-betul unik dalam upaya revitalisasi sejarah besar perdaban Sulawesi di
masa lalu dalam bentuk sebuah ensiklopedi. Sebuah langkah fenomenal tentunya,
di tengah sepinya referensi yang akan dapat bertutur lengkap dan padat akan
nilai dari sebuah sejarah.
Buku yang
hadir di hadapan dewan pembaca ini, disusun dalam bentuk ensiklopedi dengan
tujuan memudahkan penelusuran jejak sejarah dengan sajian yang padat dan lugas
tidak sekaku bentuk buku pada umumnya -tentu tanpa mengurangi penghargaan
terhadap rumitnya penyusunan buku sejarah pada umumnya. Buku ini telah berusaha
memenuhi pengertian dasar tentang ensiklopedi sebagai karya yang menghimpun dan
menyajikan berbagai data, baik yang tertulis maupun lisan tentang sejarah Luwu
yang disusun secara sistematis menurut abjad dengan memuat lebih dari 600
entri.
Meskipun
demikian, buku ini tidak terlepas dari kelemahan manusia pada umumnya, dimana
masih terdapat kalimat-kalimat yang tidak menggunakan tanda baca sebagaimana
mestinya, yang terkadang mampu mengaburkan makna yang tersimpan di balik sebuah
informasi. Hal ini mungkin perlu dimaklumi, karena dengan keterbatasan waktu
(penyusunan hanya berjalan sekitar 6 bulan), sementara begitu bertumpuk data
yang mesti dihimpun dan ditata kembali, menjadi tantangan tersendiri.
Ensiklopedi
ini selain memuat sejarah Luwu mulai dari diturunkannya Batara Guru hingga
peristiwa kecil seperti pembuatan jalan poros Makassar-Palopo, juga memuat
bioadata -baik singkat maupun panjang- tokoh-tokoh Luwu (juga daerah-daerah
yang masih menjadi bagian distrik Luwu dahulu) tanpa melihat apakah tokoh
tersebut adalah pejuang, pengkhianat, dan selainnya. Sebab menjadi pejuang
ataupun pengkhianat, atau apapun namanya, hanyalah persoalan nilai.
Sejarah yang
sejati tak akan membuat demarkasi antara dua kenyataan hidup kontras, akan
tetapi lebih dari itu, persoalan sejarah adalah persoalan pergulatan niali itu
sendiri. Sehingga tak heran, jika satu kurun waktu tertentu misalnya, seorang
Kahar Muzakkar menjadi pemberontak, tetapi di waktu yang lain, ia begitu
dielu-elukan sebagai pahlawan yang berani menentang tirani yang berkedok
nasionalisme. Akhirnya, kita mungkin masih ingat, seorang filsuf dunia,
Epicurus pernah menyatakan bahwa Historia Magistra Vitae (Sejarah adalah Guru
kehidupan) dan kepada dewan pembaca sekalianlah, buku ini mendapatkan tempat
sebagai jejak langkah tertinggal namun tak terlupakan.
AWAL BUGIS -
KERAJAAN LUWU
Perubahan
Dari Zaman Logam
Kerajaan-kerajaan
awal Bugis mengikut teks La Galigo
Permulaan
sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo,
populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai
dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah
tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung
kepada salah satu daripada tiga pemerintahan yaitu Wewang Nriwuk, Luwu' dan
Tompoktikka. Walau bagaimanapun, pada abad ke-15, terdapat kemungkinan
penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan
dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat
migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan di
tengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan
ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke-20.
Teknik Dan
Perbedaan Ekonomi
Penebangan
hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu
seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone
memakai gelaran 'Panre Bessi' atau 'Tukang Besi'. Selain itu, terdapat juga
hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung
Massepe, tempat penumpuan pembuatan alat besi oleh orang Bugis dan tempat suci
dimana 'Panre Baka' ('Tukang Besi Pertama') turun dari Surga/Langit. Walau
bagaimanapun, setengah mengatakan 'Panre Baka' berasal dari Toraja. Satu lagi
inovasi yang diperkenalkan ialah penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di
dalam teks La Galigo, menurut sumber Portugis, pada abad ke-16, terdapat banyak
penggunaan kuda di kawasan gunung. Maka, inovasi ini mungkin diperkenalkan
antara abad ke-13 dan abad ke-16. Maksud kuda di dalam Bahasa Bugis , ialah
'anyarang' (Makassar: jarang), cukup berbeda dengan Bahasa Melayu, malahan
ianya diambil dari Jawa ( 'jaran' ). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad
ke-14, ketika Jawa diperintah oleh Majapahit.
Pertambahan
penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong dan bakar
digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Penanaman padi sawah
terang-terangan diimport kerana penyuburan sawah (plough), di dalam Bahasa
Bugis ialah 'rakalla' berasal dari perkataan 'langala' yang digunakan hampir
seluruh Asia Tenggara, contohnya Cam, 'langal', Khmer, angal dan Bahasa Melayu,
tengala. Teknik 'rakalla' ini digunakan di India dan sebahagian Asia Tenggara,
manakala sebahagian lagi daripada Asia Tenggara diambil dari China. Ini
sekaligus membuktikan wujudnya perhubungan diantara Sulawesi Selatan dengan
bahagian barat Asia Tenggara selain Jawa.
Perubahan di
dalam bidang ekonomi berhubungan dengan pertambahan penduduk di tengah-tengah
benua. Pada mulanya, sumber ekonomi majoriti populasi Bugis ialah penanaman
padi manakala golongan elit mengawal sumber-sumber asli dari hutan,
perlombongan dan sumber-sumber dari laut. Sumber-sumber asli ini mendapat
permintaan dari luar Sulawesi dan ini membolehkan golongan elit memperdagangkan
sumber-sumber ini dan membolehkan mereka membeli barang-barang mewah dari luar
seperti keramik China, Sutera India, cermin etc. Walau bagaimanapun, pengawalan
pertanian oleh golongan elit masih memainkan peranan penting ketika itu.
Perubahan
Sosio-Politik
Implikasi
terakhir dari penyebaran etnik Bugis keseluruh Sulawesi Selatan ialah perubahan
didalam politik. Kerajaan-kerajaan lama Bugis yaitu Luwu', Sidenreng, Soppeng
dan Cina (kemudiannya menjadi Pammana) masih berkuasa tetapi mungkin terdapat
pembaharuan didalam pertukaran dinasti. Kuasa-kuasa kecil muncul di
penempatan-penempatan baru ( 'wanua' ) dan diperintah oleh seorang ketua
digelar 'matoa' atau 'arung'. Sesetengah penempatan awal ini (tidak disebut
didalam La Galigo) seperti Bone, Wajo dan Goa kemudiannya menjadi kerajaan-kerajaan
utama.
Walau
bagaimanapun, setengah kerajaan yang disebut di dalam teks La Galigo seperti
Wewang Nriwu' dan Tompoktikka 'hilang' di dalam rekod sejarah, dan ini
menyebabkan setengah sejarahwan percaya bahawa kerajaan-kerajaan ini tidak
wujud sama sekali. Kontranya, terdapat perubahan didalam sosio-politik yang
nyata di permulaan teks sejarah yaitu wujudnya satu perhubungan kontrak di
antara pemerintah danpa'banua (rakyat negeri tersebut yang merupakan orang
kebanyakan.) Di dalam masyarakat awal, keselamatan dan sumber pendapatan
penduduk (seperti mendirikan rumah, memberi kerja dan membekalkan keperluan
tertentu) merupakan tanggungjawab pemerintah. Situasi ini berbeda sekali
seperti di dalam teks La Galigo di mana pemerintah tidak perlu membekalkan
apa-apa kepada penduduk.
Perubahan
Agama
Kesinambungan
dari zaman logam diteruskan di dalam bidang keagamaan. Bissu (bomoh) kekal
menjadi elemen penting di dalam hal-hal keagamaan sebelum kedatangan Islam.
Perubahan di dalam bidang keagamaan ialah pembakaran mayat dan debu bagi
orang-orang terpenting disimpan di dalam tempat penyimpanan debu dimana tempat
pembakaran mayat disebut Patunuang. Menurut sumber Portugis, Makassar
mengekalkan teknik penanaman mayat dan Toraja pula membiarkan mayat reput di
gua-gua. Pemerintah-pemerintah awal pula tidak ditanam maupun dibakar dan
mereka dikatakan 'hilang', bermaksud kembali ke surga. Menurut sumber,
mayat-mayat pemerintah awal dibiarkan bersandar di pokok reput sehingga tinggal
tulang. Mayat bayi pula ditenggelamkan di sungai ataupun laut.
Kerajaan-Kerajaan
Awal Bugis
Di akhir
abad ke-15, Luwu', yang dianggap sebagai ketua bagi komuniti Bugis, mendominasi
kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Tasik Besar, sepanjang
sungai Welennae, tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang persisiran pantai
yang menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bataeng.
Walau bagaimanapun, kerajaan ini mula menghadapi tentangan dari
kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Situasi Politik Di Akhir Abad ke-15 Pada
awal abad ke-15, Luwu' menguasai Sungai Cenrana yang menghubungi Tasik Besar.
Penempatan Luwu' pula terletak di muara sungai Cenrana, manakala di hulu sungai
pula terdapat beberapa kerajaan kecil. Luwu' cuba mengekalkan pengaruhnya di
bahagian barat, di jalan perhubungan antara Selat Makassar dan Sungai Cenrana
melalui Tasik Besar, untuk mengawal perdagangan sumber-sumber asli di sebelah
barat, mineral dari pergunungan Toraja dan sumber pertanian sepanjang Sungai
Welennae. Walaubagaimanapun, Sidenreng, terletak di bahagian barat Tasik Besar
telah memilih untuk berlindung di bawah Soppeng. Pada masa yang sama, Sawitto',
Alitta, Suppa', Bacukiki' dan Rappang, juga terletak di sebelah barat telah
membentuk satu konfederasi dinamakan ' Aja'tappareng ' (tanah disebelah barat
tasik) sekaligus menyebabkan Luwuk hilang pengaruh di atas kawasan ini.
Malahan,
sesetengah penempatan-penempatan Bugis mula enggan berada dibawah pemerintahan
Luwu'. Di hulu Sungai Cenrana pula, kerajaan Wajo' sedang membangun dan mula
menyebarkan pengaruhnya untuk mengawal kawasan sekelilingnya. Manakala
pemerintah-pemerintah di kawasan sekeliling Wajo' pula di gelar 'Arung Matoa'
bermaksud Ketua Pemerintah. Sekitar 1490, salah seorang dari pemerintah ini
membuat perjanjian dengan Wajo', dan sekaligus meletakkan Luwu' dibawah
pengaruh Wajo'. Pada tahun 1498 pula, penduduk Wajo' melantik Arung Matoa Puang
ri Ma'galatung, seorang pemerintah yang disegani oleh orang Bugis, dan berjaya
menjadikan Wajo' sebagai salah satu kerajaan utama Bugis.
Di sebelah
selatan pula, Bone, di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua, sedang meluaskan
sempadannya di kawasan pertanian sekaligus membantu ekonomi Bone, menambah
kuasa buruh dan kuasa tentera. Penempatan Bugis yang disebut di dalam La Galigo
kini terletak di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan yang membangun. Soppeng pula
terperangkap di antara Sidenreng, Wajo' dan Bone manakala penempatan di tanah
tinggi cuba keluar dari pengaruh Luwu' dan pada masa yang sama ingin
mengelakkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sedang membangun.
Kejatuhan
Luwu
Tempo antara
1500 dan 1530 menyaksikan kerajaan Luwu' mula merosot. Ketika itu, Luwu'
diperintah oleh Dewaraja, seorang pahlawan yang hebat. Didalam pertemuan
diantara Dewaraja dan Arung Matoa Puang ri Ma'galatung pada tahun 1508,
Dewaraja bersetuju untuk menyerahkan kawasan-kawasan di sepanjang Sungai
Cenrana kepada Wajo' sebagai pertukaran Wajo' hendaklah membantu Luwu'
menguasai Sidenreng dimana Sidenreng berjaya dikuasai oleh Luwuk dan Sidenrang
terpaksa menyerahkan kepada Wajo' kawasan timur laut dan utara Tasik Besar.
Pada tahun
1509, Luwu' menyerang Bone untuk menyekat kuasa Bone tetapi ketika itu, Bone
sudah pun menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan tentera Luwuk mengalami
kekalahan. Malahan Dewaraja, walaupun berjaya melarikan diri, hampir dibunuh
jika tidak kerana amaran pemerintah Bone kepada tenteranya untuk tidak
'menyentuh' ketua musuh Bone. Walaubagaimanapun, Payung Merah milik Luwu' yang
menjadi simbol ketuanan tertinggi berjaya dimiliki Bone sekaligus mengakhiri
ketuanan Luwu' di negeri-negeri Bugis. Walau bagaimanapun, ketuanan Luwu' masih
disanjung tinggi dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan.
Bila penggantinya Dewaraja mangkat, Wajo' menyerang Luwu' dan meluaskan pengaruhnya
di daerah-daerah Luwu'. Ini membolehkan Wajo' menguasai beberapa
kawasan-kawasan yang strategik.
Kemunculan
Makassar
Pada masa
yang sama, berlakunya peristiwa-peristiwa penting di sebelah barat dan selatan
Sulawesi Selatan. Siang ketika itu masih lagi menjadi kuasa utama di persisiran
barat Makassar dan Bantaeng (ketika itu dibawah penagruh Luwu') di sebelah
selatan manakala terdapat dua penempatan Makassar iaitu Goa dan Tallo' yang
mula membangun dan meluaskan pengaruh mereka. Mengikut sumber yang diragui
kesahihannya, Goa dan Tallo' pada mulanya adalah satu negeri. Pada sekitar abad
ke 15, Raja Tunatangka'lopi membahagikan kawasan itu kepada dua orang puteranya
menjadi Goa dan Tallo'. Terdapat juga kisah yang lain di mana dibawah Raja
Daeng Matanre' (1510-1547), suatu pejanjian telah dibuat.
Mengikut
perjanjian tersebut, Goa dan Tallo' akan menjadi kerajaan kembar, di mana
terdapat dua pemerintah tetapi satu kerakyatan. Siapa yang coba menentang
perjanjian ini akan dihukum oleh Tuhan. Peristiwa ini mengikut Bulbeck
('History Archeology':117) berlaku selepas 1535. Peta Sulawesi yang dilukis
Portugis pertama kali pada tahun 1534 tidak menyentuh tentang Goa, dan hanya
memeta 'Siom"(Siang), 'Tello'(Tallo') dan 'Agacim'(Garassi'). Mengikut
penulisan Antonio de Paiva, Goa, (di mana didalam penulisannya merujuk kepada
Bandar Besar) yang kemudiannya muncul di peta Portugis, sebelumnya dianggap di
bawah pengaruh Siang. Sebaliknya kerajaan Tallo' yang dibawah pengaruh Siang
dan kemudiannya dibawah pengaruh Goa. Goa kemudiannya menguasai Garassi',
sebuah pelabuhan yang menghubungkan Jawa, sekaligus membolehkan Goa mengawal
perdagangan laut.
Permualaan
sejarah Goa dan Tallo' berlaku di akhir abad ke 15, tetapi laporan mengenai
peristiwa-peristiwa yang berlaku di kedua-dua kawasan itu masih tidak jelas.
Polisi perluasan kuasa mungkin bermula ketika zaman pemerintahan Raja Daeng
Matenre, Goa, dan berterusan selama dua abad selepasnya. Antara daerah-daerah
yang dikuasainya ialah Bajeng, sekutu-sekutu Tallo', kawasan-kawasan di bawah
pengaruh Bantaeng dan Gantarang.
Kejayaan
kerajaan kembar ini, lebih dikenali dikalangan pedagang asing sebagai sebuah
'negara' digelar Makassar. Ianya boleh dikatakan satu gabungan yang bijak di
mana pemerintah Goa meneruskan penguasaan wilayah manakala pemerintah Tallo',
yang mendapati potensi Makassar sebagai pelabuhan yang berjaya, menumpukan
bahagian perdagangan. Ini kemudian menjadikan Makassar salah satu kuasa yang
kuat di Sulawesi Selatan.
Kemangkatan
Dewaraja, pemerintah Luwuk, menyebabkan berlakunya perbalahan dinasti. Daeng
Mantare membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan Luwuk
dituntut oleh Sanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya
mendapatkan perlindungan di Wajo'. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan Goa di
mana Luwuk kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui kekalahannya
dan akan menyertai Goa, Bone dan Soppeng menentang Wajo' atas tindakan Wajo'
yang bersifat neutral ketika peperangan berlaku. Ini menyebabkan Wajo' terpaksa
menukar ikrar setianya dari Luwu kepada Goa. Sanggaria kemudiannya dibenarkan
menjadi raja Luwu tanpa kuasa.
Sumber Berita: www.sulselprov.go.id
Sumber Berita: www.sulselprov.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar